Jumat, 29 Agustus 2025

REVIEW JURNAL PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU

Integrated management strategy of coastal rehabilitation for controlling coastal erosion: A case study of the coastal area of Karawang Regency, West Java, Indonesia

 

Judul

Integrated management strategy of coastal rehabilitation for controlling coastal erosion: A case study of the coastal area of Karawang Regency, West Java, Indonesia

Nama Jurnal

In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science

Volume dan Halaman

1147(1): 012020

Tahun

2023

Penulis

Medi Nopiana, Fredinan Yulianda, Achmad Fahrudin, Gatot Yulianto dan Made Panji Teguh

Pendahuluan

Kerusakan pantai di Kabupaten Karawang disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk erosi yang dipicu oleh aktivitas manusia dan perubahan iklim. Kerusakan ini mengancam keberlanjutan ekosistem mangrove dan sumber daya pesisir yang vital bagi masyarakat lokal. Upaya rehabilitasi yang selama ini dilakukan cenderung lebih berfokus pada solusi rekayasa, sehingga mengabaikan aspek sosial dan kelembagaan yang penting. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan pengelolaan yang terintegrasi dan berkelanjutan yang melibatkan masyarakat dan berbagai pemangku kepentingan. Penelitian ini bertujuan mengembangkan strategi yang menggabungkan konservasi ekologis, pemberdayaan masyarakat, dan penegakan hukum untuk mengatasi erosi secara efektif.

Selanjutnya, pentingnya penguatan kapasitas masyarakat dan kolaborasi lintas sektor menjadi sorotan utama dalam upaya rehabilitasi pesisir. Data menunjukkan bahwa keberhasilan program rehabilitasi sangat bergantung pada partisipasi aktif masyarakat, terutama dalam pengelolaan mangrove dan ekowisata. Selain itu, aspek sosial seperti penyelesaian konflik tanah dan peningkatan kesadaran lingkungan menjadi faktor kunci dalam menjaga keberlanjutan program. Kebijakan yang mendukung pengelolaan kawasan pesisir secara legal dan adil juga menjadi bagian penting agar program dapat berjalan efektif dan berkelanjutan. Dengan demikian, pendekatan yang holistik dan melibatkan semua pihak menjadi solusi utama dalam mengatasi kerusakan pantai di wilayah ini.

Akhirnya, studi ini menyoroti perlunya integrasi antara aspek ekologis, sosial, dan ekonomi dalam pengelolaan pesisir. Pengelolaan yang berkelanjutan harus mampu menyeimbangkan konservasi mangrove, pengembangan ekonomi lokal, dan perlindungan hak masyarakat. Penguatan regulasi, edukasi masyarakat, dan pemberdayaan komunitas menjadi strategi utama untuk mencapai tujuan tersebut. Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sangat penting untuk memastikan keberhasilan jangka panjang. Dengan pendekatan yang komprehensif ini, diharapkan kerusakan pantai dapat diminimalisasi dan keberlanjutan ekosistem pesisir terjamin.

Metode

Survey

Metode yang digunakan dalam studi ini adalah survei di tiga kawasan pesisir Kabupaten Karawang yang paling terdampak, yaitu Pantai Cibuaya, Pantai Cilebar, dan Pantai Cilamaya Kulon. Data dikumpulkan melalui observasi langsung, wawancara mendalam, serta pemanfaatan data sekunder yang relevan. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan dilengkapi dengan metode pengambilan keputusan Analytic Hierarchy Process (AHP) untuk menentukan prioritas strategi pengelolaan pesisir. Pendekatan ini memberikan gambaran menyeluruh mengenai faktor-faktor utama yang memengaruhi kerusakan pantai sekaligus membantu merumuskan rekomendasi strategi pengelolaan yang lebih terarah dan berbasis data..

Hasil dan Pembahasan

Hasil: menunjukkan bahwa strategi pengelolaan pesisir yang paling prioritas adalah penerapan rekonsiliasi sosial dan penegakan hukum dengan bobot sebesar 52,4%. Prioritas ini muncul karena masih adanya konflik status tanah dan penggunaan lahan di kawasan pesisir yang belum terselesaikan, sehingga membutuhkan penanganan cepat dan tegas. Di samping itu, upaya konservasi kawasan pesisir melalui penguatan kapasitas kelompok masyarakat dan edukasi lingkungan juga terbukti menjadi faktor penting dalam mendukung keberhasilan rehabilitasi. Data dari survei di tiga kawasan pesisir utama mengindikasikan bahwa kolaborasi antar pemangku kepentingan masih lemah, sehingga perlu ditingkatkan koordinasi dan harmonisasi kebijakan baik di tingkat lokal maupun provinsi. Secara keseluruhan, hasil ini menegaskan bahwa pengelolaan pesisir yang berkelanjutan membutuhkan pendekatan holistik dan partisipasi aktif dari berbagai pihak.

Pembahasan: menyoroti pentingnya pendekatan terpadu dalam rehabilitasi pesisir di Karawang. Strategi utama meliputi konservasi mangrove, penegakan hukum, dan pemberdayaan masyarakat setempat. Partisipasi aktif masyarakat dan penguatan kelembagaan menjadi faktor kunci keberhasilan program. Selain itu, kolaborasi antar lembaga dan harmonisasi kebijakan sangat diperlukan untuk mendukung keberlanjutan. Pendekatan ini bertujuan menjaga ekosistem pesisir sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.

Menekankan bahwa keberhasilan rehabilitasi tidak hanya bergantung pada solusi teknis, tetapi juga pada aspek sosial dan ekonomi masyarakat. Peningkatan kapasitas kelompok masyarakat dan edukasi lingkungan mampu memperkuat kesadaran konservasi. Pengelolaan berbasis komunitas, seperti pengembangan ekowisata dan perikanan berkelanjutan, menjadi strategi penting. Integrasi aspek sosial dan ekonomi ini mendukung keberlanjutan jangka panjang program rehabilitasi.

Menyoroti perlunya penanganan konflik lahan dan penguatan regulasi di tingkat pemerintah. Penyelesaian konflik tanah dan pengaturan batas wilayah pesisir harus menjadi prioritas utama. Penguatan kerjasama lintas sektor dan penegakan hukum yang tegas akan meningkatkan efektivitas rehabilitasi. Selain itu, pengelolaan kawasan pesisir harus mengintegrasikan aspek sosial, ekonomi, dan ekologis secara seimbang. Dengan demikian, keberhasilan rehabilitasi pesisir dapat terwujud secara berkelanjutan dan menyeluruh.

Kesimpulan

Strategi pengelolaan pesisir yang paling efektif meliputi konservasi kawasan pesisir, penegakan hukum, serta peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaan. Keberhasilan rehabilitasi pesisir secara berkelanjutan sangat bergantung pada koordinasi antar lembaga dan harmonisasi kebijakan yang konsisten. Partisipasi aktif masyarakat, didukung dengan edukasi lingkungan, juga menjadi faktor penting dalam mendukung program rehabilitasi dan konservasi. Selain itu, penguatan kerjasama lintas sektor serta penegakan hukum yang tegas harus diprioritaskan untuk mengatasi masalah erosi dan kerusakan ekosistem. Dengan penerapan strategi terpadu ini, kawasan pesisir di Karawang diharapkan dapat pulih dan dikelola secara berkelanjutan demi masa depan yang lebih baik.

Saran

Perlunya peningkatan koordinasi dan harmonisasi kebijakan antara pemerintah daerah dan pusat agar rehabilitasi pesisir dapat berjalan lebih efektif dan berkelanjutan. Penguatan partisipasi masyarakat lokal melalui pelatihan dan edukasi juga penting untuk mendukung keberhasilan program rehabilitasi mangrove dan konservasi kawasan pesisir. Penelitian selanjutnya disarankan memperluas kajian ke aspek ekonomi dan sosial masyarakat sehingga strategi rehabilitasi dapat lebih menyeluruh dan berorientasi pada keberlanjutan jangka panjang. Pemanfaatan teknologi, seperti pemantauan satelit dan sistem informasi geografis (GIS), juga dapat membantu pengelolaan serta evaluasi kawasan pesisir secara lebih akurat. Terakhir, diperlukan pengembangan kebijakan yang tegas dan penegakan hukum yang konsisten untuk mengatasi konflik serta mencegah kerusakan lingkungan di kawasan pesisir.

 


 

 


Minggu, 25 Februari 2024

MANUSIA & BIOTA LAUT

oleh Arnold Willyarto (E1I023022)

 “Setiap mengambil sumber daya laut satu kali, manusia bertanggungjawab mengembalikannya satu kali juga. Pilihlah langkah-langkah yang berkelanjutan.”

 

I. PENDAHULUAN

        Biologi laut merupakan cabang ilmu biologi mengkaji tentang biota-biota yang air asin (air laut), keanekaragaman flora fauna yang ada di laut dan sekitarnya, prinsip-prinsip biologi yang mengatur organisasi dan kelangsungan hidup organisme serta interaksinya terhadap lingkungan sekitar (Zamani et al., 2020).

        Biota Laut adalah semua makhluk yang hidup di laut, baik hewan, tumbuhan, maupun karang. Secara umum biota laut terbagi menjadi tiga kelompok utama yaitu plankton, nekton, dan benthos. Pada pembagian ini tidak ada hubungannya dengan klasifikasi ilmiah, ukuran, hewan atau tumbuhan. Tetapi pengklasifikasian ini berdasarkan pada kebiasaan hidup umum seperti berjalan, gaya hidup, dan persebaran menurut ekologi (Jalaludin dkk., 2020).

 

II. ISI

2.1 Pengertian Tumbuhan atau Sumber Daya Hayati

        Sumberdaya hayati laut terdiri dari tiga ekosistem, yaitu ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Ekosistem adalah hubungan antara faktor biotik dan abiotik yang saling berhubungan satu sama lain. Struktur susunan ekosistem dari darat ke laut dimulai dari ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang, dimana ketiga ekosistem ini berperan penting bagi pesisir sebagai pelindung garis pantai dari gelombang laut. Ketiga ekosistem ini juga memiliki cir-ciri yang berbeda satu sama lain, baik ciri-ciri substratnya maupun ciri-ciri biota yang hidup didalamnya.

2.1.1 Rumput Laut

        Rumput Laut merupakan salah satu tumbuhan yang hidup di daerah perairan yang tidak memiliki akar, batang maupun daun sejati. Rumput Laut memiliki bentuk struktur tubuh yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda yang disebut sebagai thallus. Tumbuhan ini hidup dengan cara menempel pada substrat dasar luat atau benda lain yang berada di daerah pasang surut. Saat ini rumput laut sudah banyak dibudidayakan oleh para petani rumput laut, dikarenakan rumput laut  memiliki nilai ekonomis serta peluang yang besar untuk dikembangkan menjadi berbagai produk, salah satunya sebagai kosmetik (Yanuarti, Nurjanah, Anwar dan Pratama, 2017)    

2.1.2 Padang Lamun

        Padang lamun merupakan ekosistem laut yang terdiri dari tumbuhan berjenis rumput laut yang tumbuh di perairan dangkal, terutama di sepanjang pantai dan laguna. Padang lamun memiliki peran penting dalam menjaga keberagaman hayati laut dan ekosistem pesisir. Tumbuhan lamun seperti rumput laut menyediakan tempat berlindung dan tempat berkembang biak bagi berbagai spesies ikan dan invertebrata. Ekosistem ini juga berkontribusi pada siklus nutrisi laut dan membantu menjaga kualitas air. Sayangnya, padang lamun seringkali terancam oleh aktivitas manusia seperti polusi, pendangkalan pantai, dan kerusakan habitat, sehingga perlindungan dan pelestarian padang lamun menjadi sangat penting (Marwati dkk., 2019)..

2.1.3 Mangrove

            Mangrove adalah tumbuhan yang tumbuh di wilayah pesisir, terutama di muara sungai dan daerah berair payau. Mangrove memiliki akar udara yang unik yang memungkinkannya hidup di lingkungan yang tergenang air atau lumpur. Ekosistem mangrove memberikan perlindungan bagi hewan-hewan pesisir, termasuk berbagai jenis ikan, moluska, dan burung. Selain itu, mangrove berperan sebagai barier alami yang membantu melindungi pantai dari abrasi dan badai. Ekosistem ini juga memiliki nilai ekonomi dengan memberikan kayu, bahan bakar, dan sumber daya alam lainnya kepada masyarakat lokal. Perlindungan dan pelestarian mangrove menjadi penting untuk mendukung keseimbangan ekosistem pesisir dan melindungi biodiversitas laut (Kusmana, 2016)

2.1 HEWAN LAUT

2.1 Lobster pasir (Panulirus homacus)

2.1.1 Pengertian Lobster pasir (Panulirus homacus)

        Lobster pasir (Panulirus homacus) hidup pada perairan berkarang yang dangkal, dalam lubang-lubang, dan berkelompok dalam jumlah yang banyak. Lobster banyak ditemukan di te- rumbu karang karena sebagai pelindung dari ombak, tempat bersembunyi dari pre- dator, dan sebagai daerah mencari makan (Setyanto et al., 2018).

2.1.2 Klasifikasi Lobster pasir (Panulirus homacus)

Klasifikasi lobster pasir (WWF, 2015) dan tata nama lobster pasir secara ilmiah dalam taksonomi adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum       : Arthrophoda

Subfilum : Crustacea

Kelas       : Malacostraca

Bangsa     Decaphoda

Suku        : Palinuridae

Genus      : Panulirus

Spesies     : Panulirus homarus

2.1.3 Faktor Hidup Lobster pasir (Panulirus homacus)

        Lobster pasir (Panulirus homacus) hidup pada perairan berkarang yang dangkal, dalam lubang-lubang, dan berkelompok dalam jumlah yang banyak. Lobster banyak ditemukan di te- rumbu karang karena sebagai pelindung dari ombak, tempat bersembunyi dari pre- dator, dan sebagai daerah mencari makan (Setyanto et al., 2018). Kelimpahan plankton di suatu perairan dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik terdiri atas pola siklus hidup, penyebaran, dan toleransi terhadap faktor lingkungan. Adapun faktor abiotik seperti faktor fisika dan kimia perairan, tipe substrat, dan ketersediaan makanan (Wandira et al., 2020). Kondisi perairan biasanya lebih disukai oleh lobster pasir pada lobster pasir kisaran salinitas 35 ̶ 37 ppt. Tingkat salinitas secara signifikan mempengaruhi mereka secara biologis dan terlalu banyak air tawar dapat menyebabkan sel mereka membengkak dan dapat menyebabkan kematian (Seneviratna et al. 2017).

2.1.4 Budidaya Lobster pasir (Panulirus homacus)

        Ketersediaan pakan ikan rucah yang tidak kontinyu dan harganya mahal pada musim-musim tertentu. Ikan rucah pada saat cuaca normal, dapat dengan mudah didapat dengan penangkapan. Pada kegiatan budidaya, khususnya stadia pembesaran, pakan adalah salah satu faktor penting yang harus diperhatikan (Diatin, dkk., 2021), oleh karena itu diperlukan upaya introduksi dan pelatihan fokus materi tentang pakan lobster kepada para calon pembudidaya. Adapun materi yang diberikan yaitu budidaya lobster laut secara umum adalah pengenalan umum Keramba Jaring Apung (KJA) modern dan pedoman pemanfaatannya, teknik budidaya benih-benih lobster (BBL) atau pendederan, teknik budidaya lobster remaja/pembesaran, teknologi pakan dan pengendalian parasit dan penyakit.

2.1.5 Bahaya Dan Kerusakan Lobster pasir (Panulirus homacus)

        Lobster yang sering terserang MHD - SL di kawasan ini  adalah lobster pasir ( Panulirus homarus ) dan lobster mutiara  ( Panulirus ornatus ). Menurut, Koesharyani  et al. (2016),  deteksi MHD - SL sering ditemukan pada kedua lobster  tersebut. Harga lobster  pasir relatif murah dibandingkan dengan lobster mutiara dan  minat masyarakat akan lobster pasir lebih tinggi dibandingkan dengan lobster m utiara, maka pada penelitian  ini menggunakan lobster pasir untuk menyesuaikan dengan  harga dan  minat masyarakat akan lobster

2.2 Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)

2.2.1 Pengertian Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)

            Udang vaname (Litopenaeus vannamei) berasal dari Pantai Barat Pasifik Amerika Latin, mulai dari Peru di Selatan hingga Utara Meksiko. Udang vaname mulai masuk ke Indonesia dan dirilis secara resmi pada tahun 2001. Udang vaname merupakan salah satu udang yang mempunyai nilai ekonomis dan merupakan jenis udang alternatif yang dapat dibudidayakan di Indonesia, disamping udang windu (Panaeus monodon) dan udang putih (Panaeus merguensis). Udang vaname tergolong mudah untuk dibudidayakan. Hal itu pula yang membuat para petambak udang di tanah air beberapa tahun terakhir banyak yang mengusahakannya (Nababan dkk., 2015).

2.2.1 Klasifikasi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) :

Klasifikasi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) :

Kindom   : Animalia

Filum       : Arthropoda

Subfilum : Crustacea

Kelas       : Malacostraca

Ordo       : Decapoda

Famili     : Penaeidae

Genus     : Litopenaeus

Spesies   : Litopenaeus vannamei

2.2.3 Faktor Hidup Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)

            Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan penggelondongan udang vaname adalah kapadatan penebaran. Padat tebar yang tinggi akan meningkatkan kandungan bahan organik akibat penumpukan sisa pakan dan sisa metabolisme sehingga udang akan stres dan mudah terinfestasi ektoparasit dan dapat berakhir dengan kematian. Selain itu factor lain yang mempengaruhi keberhasilan penggelondong adalah kualitas air, pakan dan ketersediaan oksigen. Dari berbagai metode yang dilakukan oleh penggelondong ini seringkali tidak diperhatikan karena kurangnya fasilitas dan pemahaman tentang pentingnya pemeliharaan benur udang baik dari petak penggelondongan hingga ke petak pembesaran nantinya. Diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini akan sedikit membantu penggelondong tentang bagaimana perlakuan yang diberikan dalam pemeliharaan benur udang vaname khususnya dalam hal penentuan padat tebar baik dalam petak penggelondongan hingga petak pembesara

2.2.4 Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)

            Budidaya udang vaname, L. vannamei telah berkembang secara pesat di beberapa negara Asia Tenggara (Lukwambe et al., 2019). Budidaya udang vaname mayoritas dilakukan secara intensif dengan tingkat padat tebar yang sangat tinggi (Ariadi et al., 2021) budidaya udang vaname yang panjang akan membuat keberadaan limbah organik menjadi semakin menumpuk dan membuat keberadaan komunitas bakteri Vibrio sp. tumbuh dengan baik. Berdasarkan hasil analisis causal loop model menunjukkan bahwa kelimpahan bakteri Vibrio sp. diestimasi memiliki fluktuasi yang dinamis mengikuti pola tingkat metabolisme biologis, serta faktor adaptasi fisiologis dari bakteri itu sendiri terhadap kondisi lingkungan sekitar. Kondisi ini membuat tingkat infeksi bakteri Vibrio sp. pada ekosistem tambak udang vaname menjadi akan semakin oportunis seiring dengan lamanya masa siklus budidaya udang.

2.1.5 Bahaya Dan Kerusakan Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)

2.3. Kepiting Bakau (Scylla serrata)

2.3.1 Pengertian Kepiting Bakau (Scylla serrata)

        Kepiting bakau (Scylla) adalah sejenis kepiting yang hidup di ekosistem hutan bakau dan estuaria, anggota suku Portunidae. Kepiting yang mempunyai nilai ekonomis penting ini didapati di pantai-pantai pesisir Afrika, Asia dan Australia. Dalam bahasa Inggris ia dikenal sebagai mangrove crab, mud crab, dan juga Indo-Pacific swamp crab.

2.3.2 Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Kerajaan : Animalia

Filum      : Arthropoda

Subfilum : Crustacea

Kelas       : Malacostraca

Ordo        : Decapoda

Famili     : Portunidae

Genus     : Scylla

Spesies    ; Scylla serrata

2.3.3 Faktor Hidup Kepiting Bakau (Scylla serrata)

            Salinitas juga merupakan salah satu faktor pembatas pada metabolisme  kepiting bakau mempengaruhi molalitas cairan di dalam  tubuhnya. Hal ini sangat berpengaruh terhadap proses fisiologis yang akan  mempengaruhi kelangsungan hidup  kepiting. Dengan demikian, untuk  menghasilkan kepiting bakau dengan  tingkat kelangsungan hidup yang tinggi  perlu dilakukan pengkajian terhadap  aspek metabolismenya. Sehubungan  dengan hal tersebut, perlu dilakukan  penelitian tentang metabolisme kepiting  bakau pada berbagai salinitas.

2.3.4 Budidaya Kepiting Bakau (Scylla serrata)

            Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat produksi dalam suatu usaha budidaya kepiting soka adalah prosentase moulting, laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Faktor-faktor tersebut dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal (Hastuti et al., 2017) Faktor internal meliputi keturunan, umur, kecepatan pertumbuhan relatif, jenis kelamin, reproduksi, ketahanan terhadap penyakit dan kemampuan untuk memanfaatkan pakan. Sedangkan faktor eksternal meliputi kualitas air, kepadatan dan jumlah serta komposisi asam amino/protein yang terkandung dalam pakan

 

III. PENUTUP 

3.1 Kesimpulan 

Interakti antara manusia dan biota laut sangat erat kaitannya. Sumberdaya hayati laut terdiri dari tiga ekosistem, yaitu ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Ekosistem adalah hubungan antara faktor biotik dan abiotik yang saling berhubungan satu sama lain. Struktur susunan ekosistem dari darat ke laut dimulai dari ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang, dimana ketiga ekosistem ini berperan penting bagi pesisir sebagai pelindung garis pantai dari gelombang laut. Ketiga ekosistem ini juga memiliki cir-ciri yang berbeda satu sama lain, baik ciri-ciri substratnya maupun ciri-ciri biota yang hidup didalamnya.

 

 DAFTAR PUSTAKA

Ariadi, H., Wafi, A., Supriatna., & Musa, M. 2021. Tingkat difusi oksigen selama periode blind feed- ing budidaya intensif udang vaname (Litopenaeus vannamei). Rekayasa 14(2): 152-158.

Diatin I, I. Effendi, Y. Hadiroseyani, T. Budiardi, V.R. Hernanda, Nidwidyanthi, A.Vinasyiam. 2022. Availability of puerulus from natural catch for lobster Panulirus spp. nursery culture Jurnal Akuakultur Indonesia. 21(2): 133–14.

Hastuti, Y.P. 2014. Nitrifikasi dan denitrifikasi di tambak. Journal of Aquatic Science. 4: 157‒178.

Koesharyani, I., Gardenia, L., & Lasmika, N. L. A. 2016.  Molecular Detection and Cloning for Rickettsia - Like  Bacteria of Milky Haemolymph  Disease of Spiny Lobster Panulirus spp. Indonesian Aquaculture Journal.  11(2): 81 – 86.

Lukwambe, B., Nicholaus, R., Zhang, D., Yang, W., Zhu, J., & Zheng, Z. 2019. Successional changes of microalgae community in response to commer- cial probiotics in the intensive shrimp (Litopenaeus vannamei Boone) culture systems. Aquaculture. 511: 734257.

Marwati, A. Hamid, and H. Arami. 2019. "Keanekaragaman Jenis Krustasea Pada Padang Lamun Di Perairan Tanjung Tiram Kecamatan Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan." Jurnal Managemen Sumber Daya Perikanan. 3(2): 83-91.

Nababan, E., Putra I., dan Rusliadi. 2015. Pemeliharaan udang vaname (Litopenaeus vannamei) dengan persentase pemberian pakan yang berbeda. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan Vol. 3 No. 2. Universitas Riau.

Wahyukinasih, M. H., C. Wulandari. dan S. Herwanti. 2014. Analisis kelayakan usahaberbasis hasil hutan bukan kayu ekosistem mangrove di Desa Margasari Lampung Timur. Jurnal Sylva Lestari. 2(2): 41-48

WWF. 2015. Perikanan lobster laut. WWF-Indonesia. ISBN 978-979-1461-68-9


#Ilmukelautan 

#IlmuKelautanUnib

#YarJohan

 

 

 

 

 

 

REVIEW JURNAL PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU

Integrated management strategy of coastal rehabilitation for controlling coastal erosion: A case study of the coastal area of Karawang Regen...